Pada dasarnya, metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini
menguraikan suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian
komponen-komponennya; mengatur bagian atau variabel ini ke dalam susunan
hirarki; memberi nilai numerik menurut pertimbangan subjektif tentang relatif
pentingnya setiap variabel; dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk
menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan mempengaruhi
hasil pada situasi tersebut. Dalam menyelesaikan
persoalan dengan AHP ada beberapa tahapan, yaitu: penguraian (decomposition),
perbandingan berpasangan (pair comparisons), sintesa prioritas (synthesis
of priority), dan konsistensi logis (logical consistency).
1. Decomposition
Sistem yang kompleks
dapat dengan mudah dipahami kalau kita memecahnya menjadi berbagai elemen yang
menjadi elemen-elemen pokoknya dan menyusun elemen tersebut secara hierarkis.
Hierarki merupakan alat mendasar dari pikiran manusia yang mengidentifikasi
elemen-elemen suatu persoalan, mengelompokkan elemen-elemen itu ke dalam
beberapa kumpulan yang homogen, serta menata kumpulan-kumpulan itu pada
tingkat-tingkat yang berbeda. Ada dua macam hierarki, yaitu hierarki struktural
dan hierarki fungsional. Pada hierarki struktural, sistem yang kompleks disusun
ke dalam komponen-komponen pokonya dalam urutan menurun menurut sifat
struktural, misalnya hierarki struktural dari alam semesta akan menurun dari
galaksi ke konstelansi, ke sistem solar, ke planet, dan seterusnya. Hierarki
fungsional menguraikan sistem yang kompleks menjadi elemen-elemen pokoknya
menurut hubungan essensial mereka. Hierarki fungsional sangat membantu untuk
membawa sistem ke arah tujuan yang diinginkan.
2. Comparative Judgement
Perbandingan berpasang
yaitu dimana elemen-elemen dibandingkan berpasangan terhadap suatu kriteria
yang ditentukan. Untuk perbandingan berpasang ini, matriks merupakan bentuk
yang lebih disukai. Matriks merupakan alat yang sederhana dan biasa dipakai dan
memberi kerangka untuk menguji konsistensi, memperoleh informasi tambahan
dengan jalan membuat segala perbandingan yang mungkin dan menganalisis kepekaan
prioritas menyeluruh terhadap perubahan dalam pertimbangan.
Untuk
mengisi matriks banding berpasang itu, kita menggunakan bilangan untuk
menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen di atas yang lainnya, berkenaan
dengan sifat tertentu. Skala banding berpasang itu mendefinisikan
dan menjelaskan nilai 1 sampai 9 yang ditetapkan bagi pertimbangan dalam
membandingkan pasangan elemen yang sejenis di setiap tingkat hierarki terhadap
suatu kriteria yang berada setingkat di atasnya. Pengalaman telah membuktikan
bahwa skala dengan sembilan satuan dapat diterima dan mencerminkan derajat
sampai mana kita mampu embedakan intensitas tata hubungan antar elemen.
3. Synthesis of Priority
Untuk memperoleh prioritas menyeluruh bagi suatu
persoalan keputusan, kita harus melakukan suatu pembobotan dan penjumlahan
untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap
elemen. Langkah pertama adalah menjumlahkan nilai-nilai dalam setiap kolom.
Lalu membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah pada kolom tersebut
untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi. Terakhir, merata-ratakan sepanjang
baris dengan menjumlahkan semua nilai dalam setiap baris dari matriks yang
dinormalisasi itu, dan membaginya dengan banyaknya entri dari setiap baris.
Sintesis ini menghasilkan persentase prioritif relatif menyeluruh untuk
elemen-elemen yang dibandingkan.
4. Logical Consistency
Dalam
persoalan pengambilan keputusan, mungkin penting untuk mengetahui betapa
baiknya konsistensi karena kita mungkin tidak mau keputusan itu didasarkan atas
pertimbangan yang mempunyai konsistensi begitu rendah sehingga nampak seperti
pertimbangan acak. Di lain pihak, konsistensi sempurna sukar dicapai.
Konsistensi sampai kadar tertentu dalam menetapkan prioritas untuk
elemen-elemen berkenaan dengan beberapa kriteria adalah perlu untuk memperoleh
hasil-hasil yang sah dalam dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh
dari berbagai pertimbangan kita melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio
konsistensi harus 10 persen atau kurang. Jika ini lebih dari 10 persen,
pertimbangan itu mungkin agak acak dan mungkin perlu diperbaiki
Thomas L Saaty. 1993. Pengambilan
Keputusan. Jakarta:
PT Pustaka Binaman Pressindo. Hal:3, 31 17-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar